Nilai-nilai Katolik Menjadi Prinsip dan Model Tata Kelola yang Efektif, Transparan dan Akuntabel

  • Bagikan

Lensaberita.online – Mengintegrasikan Nilai-Nilai Kristiani dalam Setiap Aspek Kehidupan Pengelolaan organisasi berdasarkan nilai-nilai Kristus. Pengelolaan organisasi yang berlandaskan nilai-nilai seperti kasih, keadilan, integritas, dan pelayanan sangat krusial dalam konteks iman katolik. Nilai-nilai ini tidak hanya membentuk karakter individu tetapi juga menentukan arah dan tujuan organisasi.

Hal ini disampaikan oleh Natalia Nunuhitu dari Faith and Development Manager WVI dalam sidang pastoral perdana Keuskupan Labuan Bajo.

Materi ini dibawakan oleh Natalia pada hari kedua Senin (14/01/2025). tentang manajemen berbasis nilai-nilai kristiani: prinsip dan model tata kelola yang efektif, transparan, dan akuntabel

Menurut Natalia seorang pemimpin harus mampu menginterpretasikan ayat-ayat Kitab Suci dengan benar dan bertanggung jawab, menggunakan prinsip eksegesis yang memadai. Ini penting agar aplikasi nilai-nilai Kristiani dapat dilakukan dengan tepat. Rujukan pada prinsip-prinsip Kitab Suci. Prinsip-prinsip yang diambil dari Kitab Suci menjadi pedoman dalam pengelolaan organisasi katanya.
Untuk itu seorang pemimpin harus menciptakan kerangka kerja yang jelas untuk pengambilan keputusan dan tindakan dalam organisasi.Keselarasan antara iman, tindakan, dan dampak sosial.

Bagi pemimpin Kristiani , penting untuk menjaga keselarasan antara iman yang dianut, tindakan yang diambil, dan dampak sosial yang dihasilkan. Ini menciptakan integritas dan kepercayaan dalam organisasi dan masyarakat.

Untuk itu prinsip seorang pemimpin harus mengedepankan sikap pertama Kasih dimana harus menjadi landasan utama untuk bertindak dengan hati. Ia memotivasi setiap pihak untuk memperhatikan kebutuhan internal dan masyarakat. Kedua Keadilan adalah tindakan memberikan perlakuan yang adil kepada semua pihak, tanpa diskriminasi. Ini mengingatkan kita bahwa keadilan harus mengalir seperti air.

Ketiga pelayanan merupakan wujud kepemimpinan yang mendahulukan kebutuhan orang lain. Ini mengajarkan bahwa untuk menjadi besar, seseorang harus bersedia melayani. Keempat akuntabilitas menunjukkan sikap bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan baik kepada Tuhan maupun manusia. Setiap orang akan memberi pertanggungjawaban tentang dirinya sendiri kepada Allah. Keempat Integritas dimana kejujuran dan komitmen terhadap kebenaran dalam setiap keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa barangsiapa setia dalam perkara- perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.

Oleh karena itu komitmen terhadap visi kristiani yang sejalan dengan prinsip- prinsip Kristiani. Hal ini penting agar setiap tindakan dan keputusan organisasi mencerminkan nilai-nilai yang diajarkan dalam firman Tuhan, sehingga menciptakan lingkungan kerja yang positif dan memberdayakan.

Natalia menekan pentingnya pemantauan dan evaluasi berkala. Hal penting agar dapat menyusun mekanisme evaluasi yang berbasis iman untuk meninjau implementasi nilai-nilai Kristiani secara berkala. Proses ini akan membantu dalam mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan dan memastikan bahwa organisasi tetap berada di jalur yang benar dalam menerapkan nilai-nilai Kristiani dalam aktivitas sehari-hari.

Manajemen berbasis nilai Kristiani tidak hanya meningkatkan kinerja organisasi, tetapi juga menjadi kesaksian iman yang hidup di dunia kerja.

Gereja katolik harus mengedepankan rumah ibadah ramah Anak. Konsep Gereja Katolik Ramah Anak merupakan sebuah gerakan pembangunan Gereja Katolik yang terintegrasi dengan komitmen seluruh Umat Allah terhadap anak-anak; yaitu sebuah gerakan perubahan mindset atau paradigma yang berperspektif anak serta keadilan dan kesetaraan gender dalam diri segenap umat Allah, baik para pemimpin Gereja, pengurus Gereja dan pengelola gereja, maupun umat.

Pada umumnya. Konsep pembangunan Gereja Katolik Ramah Anak disusun terencana, sistematis, menyeluruh, dan berkelanjutan dalam kebijakan, program, dan kegiatan untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak sesuai visi Gereja Katolik.

Natalia mengajak peserta sidang bahwa idola 2030 dapat tercapai dengan memaksimalkan potensi bonus demografi, maka pemerintah bersama stakeholder terkait harus menciptakan generasi penerus yang produktif dan memiliki karakter positif.

Salah satu upayanya adalah menciptakan lingkungan yang sehat untuk tumbuh kembang anak, hal ini diperlukan kolaborasi multi sektor. Kolaborasi dapat dilakukan dalam bentuk pengadaan sarana dan prasarana, menciptakan suasana kondusif untuk tumbuh kembang anak, dan memberikan ruang partisipasi bagi anak-anak dan orang muda.

Lingkungan yang sehat bagi tumbuh kembang anak diciptakan mulai dari lingkup terdekat anak yaitu keluarga, sekolah, hingga masyarakat mencakup wilayah dimana anak biasa berkegiatan termasuk rumah ibadah. Pemanfaatan rumah ibadah, seharusnya dapat dikembangkan tidak hanya untuk tempat melaksanakan ritual peribadatan saja, namun sebagai sarana bagi anak untuk melakukan kegiatan positif, inovatif, kreatif yang selaras dengan tujuan agama.

Peran besar dari rumah ibadah diharapkan mampu mendorong pemenuhan hak anak dan melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, kerentanan dan diskriminasi. Hal ini diwujudkan dengan memberikan kesempatan bagi anak untuk mendapatkan suasana aman dan nyaman terbebas dari rasa cemas, enggan, dan takut. Anak juga berhak dihargai pendapatnya serta mendapatkan pengasuhan dan teladan terkait nilai-nilai baik dari pengurus dan pemimpin agama sehingga dapat mendorong penanaman karakter positif bagi anak.

Terkait dengan hal tersebut diperlukan peran aktif pemerintah dalam memastikan kemitraan dengan lembaga non pemerintah terutama pemenuhan hak dan perlindungan anak. Peran aktif dapat dilakukan dengan melaksanakan pembinaan, pengembangan dan penguatan bagi tokoh agama, pemimpin agama dan pengelola rumah ibadah. Rumah ibadah berperan sebagai sebuah lembaga yang memberikan perlindungan, memastikan keluarga dan masyarakat bahwa anak dapat berkegiatan serta memanfaatkan waktu luangnya dengan aman dan nyaman sesuai dengan tahapan perkembangan anak.

Pedoman ini disusun dalam rangka memberikan panduan Rumah Ibadah Ramah Anak (RIRA) bagi stakeholder terkait untuk membentuk dan membangun Rumah Ibadah Ramah Anak (RIRA) serta hal- hal yang harus dipenuhi dalam mewujudkan Rumah Ibadah Ramah Anak.

Natalia menjelaskan bahwa Anak adalah investasi masa depan bangsa yang perlu dijaga dan diperhatikan tumbuh kembangnya, dan dalam melaksanakan langkah- langkah pemenuhan hak anak tersebut pemerintah dapat didukung oleh peran aktif lembaga masyarakat, lembaga keagamaan, lembaga adat, dunia usaha dan media dalam kerangka kolaborasi dan sinergi yang kokoh dan terimplementasikan dalam kerangka Kabupaten atau kota layak anak.

Karena itu Natalia mengajak Lembaga keagamaan, rumah ibadah terutama gereja harus mengembangkan strategi-strategi upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak secara komprehensif. Hal ini melalui keterlibatan Dewan Pastoral Keuskupan, Pastor Paroki, Dewan Pastoral Paroki, tenaga pastoral, pendamping, aktivis pelayanan anak, orang tua, umat pada umumnya, dan anak-anak yang haknya harus terlindungi dan terpenuhi selama berkegiatan di Gereja.

Pengembangan gereja sebagai sarana yang ramah anak harus memiliki model pendekatan dengan disesuaikan pada kondisi dan konteks dari masing- masing gereja, sehingga akan banyak ragam atau model penerapan Gereja Katolik Ramah Anak (GKRA).
Meskipun nama dan istilah yang berbeda-beda namun memiliki arti dan konteks yang sama yaitu dengan tetap mengacu pada prinsip-prinsip perlindungan dan pemenuhan hak anak yang berdasarkan pada konvensi hak anak dan Peraturan Perundangan tentang Perlindungan Anak.

(Vinsensius Patno)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *