Lensaberita.online – Selamat Natal dan Tahun Baru 2025! Dalam sukacita kelahiran Kristus, kita bersyukur atas rahmat-Nya yang terus mempersatukan kita sebagai umat Allah di Keuskupan Labuan Bajo. Semoga damai dan cinta kasih-Nya senantiasa membimbing langkah kita dalam pelayanan sepanjang Tahun 2025 ini.
Sebagai Keuskupan baru, kita dipanggil untuk merenungkan dan merumuskan langkah-langkah konkret dalam mewujudkan Gereja yang signifikan—relevan sekaligus sinodal—partisipatif. Kita menyambut baik inisiatif Tim Pastoral kita, membingkai pertemuan pastoral pertama ini dengan tema, “Pastoral Tata Kelola Partisipatif: Persekutuan, Partisipasi, dan Perutusan.” Tema ini sejalan dengan visi saya dan visi bersama kita Keuskupan Labuan Bajo, yang saya perkenalkan pada pertemuan ini, “Gereja yang Sinodal, Solid, Solider.” Sinodalitas adalat titik berangkat kita—menuju dua titik tuju, pertama, soliditas dalam ranah forum internum; kedua, solidaritas dalam ranah forum externum.
Tema “Pilgrims of Hope” dalam Tahun Yubileum 2025 mengingatkan kita bahwa perutusan umat beriman adalah menjadi saksi harapan di tengah tantangan dunia. Dengan tata kelola pastoral partisipatif, kita mewartakan kasih dan keadilan Kristus, khususnya bagi mereka yang membutuhkan. Sebagai peziarah harapan, kita melangkah bersama menuju dunia yang lebih baik, penuh damai dan kemuliaan Allah, sambil aktif berpartisipasi dalam persekutuan, pelayanan, dan pewartaan Injil.
Tema “Pastoral Tata Kelola Partisipatif: Persekutuan, Partisipasi, dan Perutusan” menjadi panggilan bagi kita untuk memperkuat sinodalitas dalam Gereja. Persekutuan yang kokoh dalam iman akan memampukan kita untuk lebih aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan pastoral yang mendukung kesejahteraan umat dan memperkuat solidaritas. Partisipasi ini juga menyentuh aspek tata kelola pastoral, di mana setiap anggota Gereja, baik katekis, pemimpin awam, maupun rohaniwan, memiliki peran penting dalam pengelolaan bersama. Pada kesempatan ini, saya ingin mengemukakan beberapa pandangan berikut ini.
Pertama Gereja sebagai Persekutuan: Fondasi Teologis dan Sosial
Gereja sebagai persekutuan umat Allah adalah panggilan inti kita. Lumen Gentium menegaskan bahwa GEREJA adalah “tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia” (LG, 1). Persekutuan bukan hanya struktur, tetapi juga pengalaman iman yang mencerminkan kasih Tritunggal Mahakudus. Persekutuan ini diwujudkan melalui kehidupan sakramental, doa bersama, dan pelayanan kasih. Dalam persekutuan, umat dipanggil untuk saling mendukung, mendengarkan, dan bekerja sama. Kasih Allah menjadi fondasi yang memperkokoh persekutuan ini, sehingga Gereja mampu menjadi saksi yang hidup akan kehadiran dan karya Allah di tengah dunia yang terus berubah.
Bauman (2000), dalam konsep modernitas cair, melihat dunia dan kehidupan dalam aras dinamika radikal. Identitas persekutuan Gereja menghadapi tantangan karena perubahan yang cepat dan ketidakpastian sosial. Dunia, dalam konteks ini, membutuhkan komunitas yang mampu menawarkan stabilitas, makna, dan harapan. Gereja dipanggil untuk menjadi tanda harapan melalui relasi yang autentik, solidaritas, dan keterbukaan terhadap semua. Persekutuan sejati tidak hanya berbicara tentang kehadiran, tetapi juga tentang partisipasi aktif setiap anggotanya. Oleh karena itu, keterlibatan kaum muda, perempuan, dan kelompok marjinal menjadi penting untuk mencerminkan wajah Gereja yang inklusif, dinamis, dan relevan bagi dunia yang terus berubah.
Kedua Sinodalitas dan Partisipasi: Jalan Menuju Gereja yang Hidup
Paus Fransiskus menekankan pentingnya sinodalitas sebagai “jalan yang Allah harapkan dari Gereja pada milenium ketiga” (Francis, 2015). Sinodalitas adalah ekspresi Gereja yang mendengar, berbicara, dan bertindak bersama—di mana seluruh umat Allah berpartisipasi aktif dalam kehidupan dan misi Gereja. Paus menegaskan bahwa Gereja yang sinodal melibatkan seluruh umat sebagai “subyek aktif” dalam kehidupan pastoral (EG, 120). Hal ini tidak hanya memperkuat persekutuan, tetapi juga memastikan bahwa suara setiap individu, terutama yang berada di pinggiran—didengar dan dihargai.
Dalam pandangan pemikir sosial Giddens (1984), dalam teori struktur-agensinya, partisipasi bukan sekadar tanggung jawab struktural, tetapi juga pengakuan atas agensi individu dalam membentuk masa depan. Dalam konteks Gereja, kesadaran ini berarti setiap anggota umat—dari yang terkecil hingga yang paling terpandang—memiliki peran unik dalam membangun komunitas iman. Partisipasi ini tidak hanya memperkuat struktur Gereja tetapi juga mencerminkan semangat kolegialitas dan solidaritas.
Gereja Keuskupan Labuan Bajo, secara khusus selama pertemuan pastoral ini, dapat mengadopsi model “lingkaran pendengar” (listening circles) sebagaimana diusulkan oleh Hernández (2020). Model ini memungkinkan komunitas basis gerejawi (KBG) menjadi pusat pengambilan keputusan pastoral. Dengan mendengarkan suara komunitas, Gereja tidak hanya merespons kebutuhan umat tetapi juga membangun tata kelola yang lebih partisipatif dan inklusif. Dengan demikian, kesadaran eklesiologis kita memiliki akar pada pengalaman iman umat kita. Itu berarti bahwa diskursus yang kita bangun selama pertemuan pastoral ini juga merefleksikan keterbukaan kita mendengar suara elemen-elemen Gereja berdasarkan pengalaman perjumpaan mereka baik dengan Tuhan, sesama, dan semesta.
Ketiga Perutusan: Gereja yang Bergerak Menuju Dunia
Yesus berkata, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Mat 28:19). Amanat ini menggarisbawahi misi Gereja yang hidup dalam persekutuan dan partisipasi untuk melangkah keluar—membawa Injil kepada dunia. Gereja dipanggil untuk menjadi saksi kasih Allah yang melampaui batas, melibatkan diri dalam pelayanan kepada semua orang—terutama mereka yang membutuhkan perhatian dan harapan.
Para futuris, seperti Beck (1992), dalam “risk society”, memberikan awasan akan berbagai tantangan global seperti ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan, dan krisis kemanusiaan –yang memerlukan respons profetis dari Gereja. Paus Fransiskus dalam Laudato Si’ (2015) menekankan bahwa “perhatian terhadap rumah bersama kita” adalah bagian integral dari iman Kristen. Di Labuan Bajo, yang kaya akan keindahan alam dan budaya, tanggung jawab ekologis harus menjadi prioritas pastoral. Gereja tidak hanya menjaga alam ciptaan, tetapi juga memberdayakan umat untuk menghargai dan melindungi warisan lingkungan demi generasi mendatang. Seruan-seruan profetis-ekologis niscaya lahir dari proses pertemuan pastoral ini.
Selain itu, solidaritas dengan kelompok rentan, seperti korban perdagangan manusia dan kaum difabel, ODGJ, menjadi panggilan mendesak Gereja. Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti menegaskan bahwa “tidak ada seorang pun yang dibiarkan sendirian” (FT, 115). Gereja menjalankan misi dengan membawa terang harapan kepada mereka yang terpinggirkan dan menghormati serta melindungi martabat setiap manusia. Dengan mengintegrasikan tanggung jawab ekologis dan solidaritas kemanusiaan, Gereja dapat mewujudkan Injil sebagai kabar baik yang relevan dan transformatif di dunia masa kini.
Keempat Tiga Pilar Visi: Sinodal, Solid, Solider
a. Gereja yang Sinodal
Sinodalitas membutuhkan transparansi, akuntabilitas, dan dialog yang inklusif. Castells (1996) dalam The Network Society menjelaskan bahwa dunia modern dihubungkan oleh jaringan yang kompleks. Gereja dapat belajar dari pendekatan ini dengan membangun jaringan komunikasi dan kerja sama efektif antar komunitas basis, paroki, kelompok pastoral, dan elemen-elemen lainnya. Hal ini memungkinkan setiap lapisan umat Allah terlibat secara aktif dan memastikan bahwa keputusan pastoral mencerminkan kebutuhan serta aspirasi umat.
Selain itu, sinodalitas juga memerlukan ruang-ruang dialog yang aman, di mana setiap orang merasa didengar dan dihargai. Gereja dapat memperkenalkan platform digital atau forum diskusi tatap muka yang memfasilitasi pertukaran ide, testimoni iman, dan kolaborasi pastoral. Dengan demikian, Gereja tidak hanya menjadi institusi, tetapi juga komunitas yang dinamis dan responsif terhadap tantangan zaman.
b. Gereja yang Solid
Soliditas iman diperoleh melalui formasi spiritual yang mendalam. Katekismus Gereja Katolik menyebut iman sebagai “sumber yang menopang seluruh kehidupan Kristiani” (KGK, 2087). Formasi ini harus mencakup pendidikan rohani yang komprehensif bagi hirarki, keluarga, kaum muda, dan para pemimpin awam. Program-program seperti retret, pelatihan kepemimpinan pastoral, dan pendalaman Kitab Suci dapat membantu menanamkan nilai-nilai Kristiani dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih jauh lagi, Gereja harus menjadi sumber kekuatan spiritual di tengah pergumulan hidup modern. Dalam menghadapi ketidakpastian dan tantangan zaman, umat memerlukan pendampingan pastoral yang mendalam. Dengan menyediakan bimbingan rohani yang bermakna, Gereja dapat membantu umat bertumbuh dalam iman dan menjadi saksi Kristus yang kokoh.
c. Gereja yang Solider
Solidaritas adalah manifestasi dari cinta kasih. Yohanes Paulus II dalam Sollicitudo Rei Socialis menyebut solidaritas sebagai “semangat kasih yang memanifestasikan diri dalam tindakan” (SRS, 38). Di Labuan Bajo, solidaritas dapat diwujudkan melalui program-program sosial yang memberdayakan masyarakat, seperti pendidikan bagi anak-anak kurang mampu, pelatihan keterampilan, dan pengembangan ekonomi lokal.
Selain itu, advokasi hak asasi manusia harus menjadi fokus utama, terutama terkait isu perdagangan manusia dan eksploitasi. Gereja juga perlu memperkuat kerja sama lintas agama untuk membangun harmoni sosial dan menciptakan budaya perdamaian. Dengan demikian, Gereja menjadi tanda harapan dan instrumen kasih Allah bagi semua orang.
Kelima Tantangan dan Peluang
Sebagai Keuskupan baru, kita menghadapi berbagai bentuk tantangan, seperti infrastruktur pastoral yang terbatas, kebutuhan formasi bagi para pelayan pastoral, dan dinamika sosial-ekonomi masyarakat. Namun, ini juga menjadi peluang untuk membangun Gereja yang benar-benar relevan dengan konteks lokal.
a. Dinamika Turisme dan Urbanisasi
Labuan Bajo sebagai destinasi wisata global menghadapi tekanan urbanisasi dan ketimpangan ekonomi. Gereja harus hadir sebagai suara moral dan pelayan kasih. Gereja perlu mengadvokasi kebijakan yang mendukung keadilan sosial dan menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.
b. Komunitas Basis Gerejawi (KBG)
Latour (2005) dalam teori aktor-jaringannya menunjukkan bahwa komunitas lokal memiliki kekuatan besar dalam membentuk perubahan. Dengan memperkuat KBG, Gereja dapat tetap dekat dengan kehidupan umat dan menjadi agen transformasi sosial. KBG harus menjadi pusat dari pastoral Gereja untuk memastikan bahwa iman umat berakar pada kehidupan sehari-hari.
c. Pendidikan dan Pemberdayaan Ekonomi
Salah satu tantangan utama di wilayah ini adalah rendahnya akses terhadap pendidikan dan peluang ekonomi. Gereja dapat memainkan peran kunci dengan menyediakan program pendidikan non-formal, pelatihan keterampilan, dan dukungan ekonomi bagi kelompok yang paling rentan. Hal ini selaras dengan pandangan Beck (1992) dalam Risk Society, yang menekankan pentingnya mempersiapkan masyarakat menghadapi risiko dan ketidakpastian modernitas.
Keenam Langkah-Langkah Praktis
1. Pemetaan Pastoral: Mengidentifikasi Kebutuhan Mendesak di Setiap Wilayah
Pemetaan pastoral adalah langkah strategis untuk memahami situasi dan kebutuhan umat di setiap wilayah dalam suatu keuskupan. Proses ini mencakup pengumpulan data melalui survei dan penelitian tentang kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan spiritual umat di berbagai paroki atau stasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi masalah-masalah mendesak, seperti keterbatasan akses terhadap sakramen, minimnya pendidikan agama, atau tantangan sosial seperti kemiskinan dan konflik. Berdasarkan analisis ini, langkah-langkah prioritas disusun untuk menjawab kebutuhan umat, seperti membuka paroki baru, meningkatkan fasilitas pastoral, atau memperbanyak kunjungan pastoral ke daerah terpencil. Dengan pendekatan ini, Gereja dapat merancang kebijakan yang tepat guna dan berkelanjutan untuk melayani umat dengan lebih efektif.
2. Formasi Pemimpin: Menyediakan pelatihan bagi para katekis dan pemimpin awam
Pelatihan bagi katekis dan pemimpin awam bertujuan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam melayani umat. Sementara itu, formasi pemimpin berfokus pada pelatihan katekis dan pemimpin awam guna meningkatkan kapasitas mereka dalam melayani umat. Hal ini dilakukan melalui program pendidikan teologi, Kitab Suci, dan liturgi, pengembangan keterampilan kepemimpinan, komunikasi, dan manajemen komunitas, serta pendidikan berkelanjutan yang memperdalam spiritualitas dan pastoral berbasis konteks lokal. Kedua strategi ini bertujuan untuk memastikan bahwa pelayanan Gereja menjadi lebih efektif, relevan, dan mampu menjawab kebutuhan umat secara berkelanjutan.
3. Kolaborasi Lintas Sektor: Membangun Sinergi untuk Harmoni Sosial
Sebagai wilayah dengan keberagaman agama, Keuskupan Labuan Bajo memiliki kesempatan unik untuk menjadi pelopor dialog antaragama. Castells (1996) dalam The Network Society menekankan pentingnya membangun jejaring untuk kolaborasi lintas batas. Gereja harus memperkuat hubungan dengan komunitas agama lain untuk menciptakan harmoni sosial dan kerja sama dalam isu-isu bersama seperti lingkungan dan keadilan sosial. Kolaborasi lintas sektor merupakan upaya strategis untuk mendorong kerja sama antara Gereja, komunitas agama lain, LSM, pemerintah, dan sektor swasta dalam menciptakan perdamaian dan harmoni sosial
4. Ekologi Pastoral: Mengintegrasikan Kesadaran Lingkungan dalam Kehidupan Gereja
Ekologi pastoral adalah pendekatan yang mengintegrasikan kepedulian terhadap lingkungan ke dalam kehidupan dan pelayanan Gereja. Pendekatan ini mencakup edukasi umat tentang pentingnya menjaga ciptaan Tuhan melalui homili, seminar, dan aktivitas komunitas. Selain itu, Gereja berperan aktif melalui aksi konkret, seperti program penghijauan, pengelolaan sampah berbasis komunitas, dan penerapan energi terbarukan di berbagai fasilitas pastoral. Kesadaran lingkungan juga diintegrasikan dalam liturgi dan doa, termasuk perayaan yang berfokus pada pemeliharaan ciptaan, seperti Hari Doa Sedunia untuk Pemeliharaan Ciptaan. Dengan langkah-langkah ini, Gereja tidak hanya menunjukkan komitmen untuk menghadapi tantangan perubahan iklim tetapi juga berkontribusi dalam menjaga ekosistem demi kelestarian ciptaan bagi generasi mendatang.
Penutup
Saudara-saudari yang terkasih, panggilan kita adalah membangun Gereja yang sinodal, solid, dan solider. Misi ini sejalan dengan Kristus yang membawa keselamatan bagi seluruh dunia. Sinodalitas mengajak kita berjalan bersama, mendengarkan, dan saling menopang sebagai umat Allah. Kekuatan kita terletak pada solidaritas, yakni kepedulian kepada sesama, terutama yang lemah dan membutuhkan. Dalam kebersamaan ini, saya yakin kita dapat membawa terang dan harapan bagi dunia yang merindukan kasih dan keadilan.
Sebagaimana Rasul Paulus berkata, “Karena kita ini adalah rekan sekerja Allah” (1 Kor 3:9). Sebagai rekan kerja Allah, kita diundang untuk terus berkarya dalam iman. Kita memperkuat komunitas dan menghadirkan nilai-nilai Injil dalam kehidupan sehari-hari. Kita adalah alat di tangan Tuhan untuk membangun Gereja yang hidup dan dinamis.
Marilah kita, sebagai umat Allah, melangkah bersama dalam semangat sinodalitas. Kita perkuat persaudaraan sejati, tingkatkan partisipasi aktif, dan teguhkan perutusan kita di tengah dunia. Semoga pertemuan ini menghasilkan langkah-langkah nyata bagi Gereja dan masyarakat di wilayah kita. Kiranya Tuhan memberkati langkah kita menuju masa depan penuh harapan. Semoga kita tetap setia menjadi saksi kasih-Nya di dunia. Amin.
(Vinsensius Patno)