lensaberita Ramainya perbincangan tentang ke-profesor-an akhir-akhir ini kian hari kian menggelitik. Selain tuntutan untuk peningkatan kualitas pendidikan, juga terdapat sikap yang menunjukkan autokritik dari kalangan profesor. Tidak semata bersikap pasif, perhatian penulis kemudian mengarah kepada pengalaman pribadi dalam berinteraksi serta pengetahuan tentang peran dan kontribusi para profesor selaku penyandang gelar akademik tertinggi tersebut. Melalui artikel ini penulis mengajak bercermin pada pengalaman pribadi penulis berikutnya pengalaman pembaca untuk meraih manfaat, pelajaran dan hikmah.
Tahun 2015, penulis berhasil wisuda dari Program Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada penulis dan segera menjadi tenaga pengajar di sebuah universitas di daerah saya dengan mudah. Latar belakang putera daerah yang hendak mengabdikan diri di daerah asalnya bukan menjadi alasan utama, namun melalui rekomendasi seorang profesor, penulis bisa dengan mudah mengampu meski hanya sekitar dua atau tiga mata kuliah untuk bantu-bantu sebagai dosen luar biasa.
Tidak berselang lama, ada banyak kesempatan untuk melebarkan sayap karir di sana seperti menjadi pegawai kontrak, hingga terbuka kesempatan menjadi pegawai tetap (PNS) namun tidak semua penulis ambil. Pada saat yang sama terdapat masalah-masalah yang akhirnya membuat penulis “kicked out” dari sana. Sekitar dalam rentang waktu lima tahun, lantaran tidak bukan berstatus PNS; ditandai dengan diberinya surat bebas tugas sebagai pegawai kontrak lantaran efisiensi dana universitas, disusul tidak diberinya jadwal mengajar sebagai dosen luar biasa yang senantiasa didamba mempertegas semuanya.
Sebelum itu, semasa perkuliahan S2, penulis sempat memberi kritik terhadap profesor pengampu mata kuliah Filsafat Pendidikan, terhadap esensi materi perkuliahan yang dirasa jauh dari kenyataan serta unsur kemanfaatan sebagai bahan introspeksi, sang profesor menjawab gampang, seingat penulis berbunyi “yang penting saya profesor”. Sungguh jawaban terlalu diplomatik dan kontras dengan diskursus filsafat.
Namun jauh sebelum itu, tepatnya pada tahun 2012 ketika penulis selesai melaksanakan sidang Skripsi di Jogjakarta, sebagaimana para peserta umumnya telah mempersiapkan selain snack adalah dokumentasi. Di akhir sidang, tepatnya setelah selesai dan masing-masing telah bubar, penulis menghampiri para penguji salah satunya berstatus profesor untuk berfoto bersama. Sebagaimana umumnya anak muda kala itu adalah membagikan di antara momen spesial, penulis memposting foto dokumentasi tersebut khususnya saat bersama sang guru besar dengan caption waktu itu, tidak panjang namun dirasa sampai saat ini masih mengena: “profesor dan calon profesor”.
Saat ini, penulis tidak lagi menjadi dosen, apalagi profesor hanya sebagai penulis lepas namun bergelar dan hampir mencapai setahun, yaitu pada 21 Agustus mendatang. Melalui artikel ini penulis tidak sedang sekedar turut menyampaikan tuntutan lantaran mereka juga telah berjasa dalam bidang dan caranya masing-masing khas akademisi tidak juga autokritik. Sebab keistimewaan profesor dalam pandangan penulis secara pribadi tidak ditemukan bersifat merugikan namun syarat amanah yang artinya beban tersendiri bagi para penyandangnya.
Zona aman sebagai profesor didapat nyatanya sesederhana itu setidaknya dalam artikel ini adalah dalam menjawab “kesombongan” mahasiswa. Zona nyaman adalah dapat menjadi alternatif dalam mengakses pekerjaan. Adapun cita-cita mulianya sangat sederhana yaitu dari seorang pemuda kampung yang merasa bersyukur dapat gelar sarjana di kota pelajar, Jogja dan kiranya menyenangkan hati orang tua. Sebegitu sederhananya!
Introspeksi diri adalah pesan utama dalam artikel tentang profesor ini untuk menjaga martabat sebagai kaum terdidik baik formal atau non-formal dan informal. Poin ini tentu dapat dipahami oleh siapa saja yang mampu membaca (bukan “ummiyy” atau buta huruf).
oleh: Nazwar, S. Fil. I., M. Phil. (Penulis Lepas Lintas Jogja Sumatera)