Perwakilan Ombudsman RI Sumsel Panggil PT KAI Terkait Penggusuran di Kelurahan Kemang Agung

  • Bagikan

Palembang, LensaBerita.Online,-

Sebagaimana Surat Ombudsman Perihal Pertemuan Penyelesaian Laporan yang telah disampaikan sebelumnya, Kadivre III PT. KAI (Persero), Yuskal Setiawan hadir dengan didampingi seluruh pejabat yang membidangi. Hadir antara lain Kapuspen Operasional Sumatera, Fitriyadi, Project Director 12, Raden M Tomy, Manajer Aset Reza Wahyudi, Manajer Hukum, Ikbal dan Manajer Humas, Aida Suryanti. Kehadiran tim lengkap ini menurut Yuskal adalah bentuk rasa hormat PT. KAI kepada Ombudsman yang sebagaimana diketahui adalah Lembaga negara yang memang tugasnya mengawasi pelayanan, termasuk pelayanan transportasi oleh KAI. Disamping itu, dengan menghadirkan seluruh pejabat diharapkan PT. KAI dapat memberikan keterangan yang diperlukan secara lengkap agar bersama-sama dapat menemukan solusi terbaik.

Dalam permintaan keterangan, Yuskal mengatakan bahwa proses yang dilakukan kepada warga di Kelurahan Kemang Agung adalah penertiban dan bukan pembelian sehingga nominal uang yang diberikan disebut kompensasi, bukan ganti rugi. KAI menganggap bahwa tanah yang saat ini ditempati oleh warga adalah tanah PT. KAI berdasarkan Grondkaart Tahun 1912 yang pada saat itu dikuasai oleh Staat Spoorwagen dan telah dilegalkan oleh Kadaster, Badan Pertanahan zaman Kolonial Belanda. Selain itu menurut KAI, Grondkaart dimaksud sudah dilaporkan kepada Kementerian Keuangan dan diklaim telah terdaftar sebagai aktiva tetap PT. KAI, Senin (02/10/2023).

Nantinya, di Kawasan tersebut akan dibangun stockpile dan dermaga Pelabuhan batubara yang luasnya sementara adalah 19,1Ha dan mungkin akan terus bertambah mengikuti perkembangan bisnis batubara yang saat ini sedang jadi primadona.

Terkait tim lapangan yang bertugas, KAI mengatakan bahwa memang tidak semua yang bertugas adalah pegawai PT. KAI mengingat memang jumlahnya yang terbatas, sehingga PT. KAI menyewa Lawyer dan melibatkan ‘tim lingkungan’ bahkan disebut juga sebagai Sahabat KAI, yang belakangan diketahui sebagian adalah warga sekitar dan orang-orang rekomendasi dari orang tertentu.

Kepala Perwakilan Ombudsman, M. Adrian menyampaikan ada beberapa hal yang menjadi penekanan dalam pertemuan tersebut. Pertama, bahwa masalah ini telah menjadi perhatian publik dan memiliki dampak meluas sehingga penanganannya harus memperhatikan banyak aspek dan memerlukan kehati-hatian. Kedua, bahwa masih terjadi perbedaan penafsiran di masyarakat berkaitan dengan alas hak yang dimiliki masing-masing pihak, baik KAI maupun masyarakat. Sehingga harus ada rasa saling menghormati antar keduanya, apalagi ini menyangkut hajat hidup masyarakat sebagai warga negara.

Ketiga, dalam peraturan hukum dan berbagai referensi, bahwa Grondkaart merupakan petunjuk awal yang memerlukan upaya administratif lanjutan berupa konversi menjadi status Hak Atas Tanah baik berupa Hak Milik, Hak Pakai atau Hak pengelolaan oleh PT. KAI sebagaimana dibunyikan pada UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Upaya tersebut tentu memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi di antaranya adalah penguasaan fisik lahan, sebagaimana dibunyikan dalam PP 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah juncto PP Nomor 18 Tahun 2021 dan Permen Nomor 18 Tahun 2021 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Tanah dan Pendaftaran Hak.

Selama ini masalahnya adalah bahwa tanah tersebut banyak dikuasai bukan oleh PT. KAI melainkan warga secara turun-temurun. Sedangkan PT. KAI sendiri tidak maksimal dalam menjalankan kewajiban hukumnya berupa pemanfaatan dan penatausahaan tanah tersebut. Kalau betul memang tanah yang diklaim adalah milik PT. KAI, mestinya dijaga, dipasang tanda fisik penguasaan., sehingga tidak mungkin ada pihak yang menduduki, membangun rumah apalagi sudah tinggal sampai puluhan tahun.

Selanjutnya, Ombudsman juga memberi perhatian soal pelibatan pihak-pihak yang melakukan pengukuran dan negosiasi di lapangan. Sesuai UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, semua petugas layanan wajib dilengkapi dengan atribut dan legal standing yang menunjukkan bahwa petugas tersebut benar merupakan petugas yang berwenang memberikan suatu pelayanan. Pada praktiknya, masyarakat mengeluhkan bahwa petugas yang turun ke masyarakat bukan dari PT. KAI, namun ada juga warga lokal yang disebut-sebut sebagai oknum masyarakat yang diragukan kompetensinya.

Dalam pertemuan tersebut, PT KAI juga memaparkan sejumlah aturan yang menjadikan dasar dari pekerjaan yg telah dilaksanakan, bahkan dipaparkan juga bahwa dari total rencana 100 % penertiban lahan aset yang dilakukan, baik dengan masyarakat atau pihak lainnya, 80% telah menerima dengan musyawarah mufakat, tinggal 20% lagi yang masih berproses.

Ombudsman juga meminta Salinan beberapa data dan dokumen yang diperlukan dari PT. KAI untuk ditelaah lebih lanjut oleh tim pemeriksa. Selanjutnya direncanakan akan dilakukan pemeriksaan lapangan dan permintaan keterangan pihak terkait.

(Ling² Jovi)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *