Penulis Opini:Agung Bramantyo, Ketua Komunitas Pemerhati Banyuwangi. Pada Sabtu (29/6/2024)
Opini,Lensaberita.online| DRAKULA dalam cerita atau film selalu diidentikkan dengan penghisap darah. Perilaku manusia yang mengindikasikan selalu tidak pernah merasa puas demi mendapatkan sesuatu yang diingininya.
Hari ini masyarakat melihat drama “drakula politik” yang dilakukan para elit-elit politik yang “haus” akan kekuasaan menjelang Pilkada 2024
Adegan drama ini dimulai dengan mengamputasi kewenangan dan memplokoto nalar sehat independensi, obyektivitas.Aturan yang jujur dan adil berdasarkan peraturan perundang-undangan ternyata sudah mulai dikotori oleh “drakula politik”
Sehingga semua pejabat dan lembaga hukum bisa “dibeli” dengan ambisi yang membabi buta demi mempertahankan kemapanan oligarki ekonomi mereka.
Dengan adanya pihak-pihak yang mendukung salah satu calon di kontestasi pilkada dengan membabi buta mebuat suasana politik tidak nyaman
“Pertarungan sang penguasa yang akan bertanding di Pilkada 2024 adalah sosok petahana, yang sudah terbukti menjalankan Rodah Pemerintahan yang bisa dibilang sukses. Ya, semua tergantung masyarakat yang memilih dan masyarakat pula yang merasakan
“Apakah sang penguasa murni bekerja untuk rakyat atau hanya sekedar untuk melindungi seseorang yang berada di balik layar sang penguasa.
Atau hanya sebagai“boneka” yang hanya bekerja sesuai petunjuk dan arahan atau duduk manis lalu sang raja yang memainkan “remote” politik pemerintahan seperti yang sudah berjalan saat ini,”Hanya masyarakat yang bisa menilai,
Publik wajar-wajar saja melakukan interpretasi politik yang liar sedemikian ini, karena kondisi politik hari inipun liar. Publik melihat drama politik hari ini dilakukan oleh “drakula-drakula politik” dengan modus sebagai berikut;
Pertama, demi membangun dinasti kekuasaan, maka sang raja berani berbuat serta tidak malu terhadap penilaian publik lagi. “Emang gua mikirin, yang penting keluarga dan kroni-kroni gue mendapat serta mempertahankan kekuasaan”.
Politik itu buta, tidak ada teman abadi tetapi kepentingan abadi. Ternyata benar kepentingan selalu diutamakan, sehingga etika tata krama, menjadi tidak ada harganya ketika kepentingan menggerogoti nafsu nuraninya. Manusia yang lugu berubah drastis menjadi manusia “bermuka tebal”.
Dan masyarakat bisa merasakan bukan menuduh, bahwa ada dugaan dalam berpolitik soal praktik tipu menipu saling “baku makan” antar politisi lumrah demi meraih yang namanya nikmat kekuasaan.Rakus akan nikmat kekuasaan, maka praktik drakula politik menjadi lumrah.
Pemimpin yang benar harus dimulai dengan cara-cara yang benar, beretika, bermoral, ketika dirinya sebagai calon Pilkada2024 bukan harus memilih yang terbaik, tetapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa.
Masyarakat tidak boleh abstain atau golput. “Pilihlah yang kadar keburukannya lebih sedikit. Kadar keburukannya lebih sedikit adalah yang terbaik di antara pilihan yang ada”. Penentu kemenangan bukan partai dan besarnya koalisi partai, tetapi nurani rakyat. Ingat, vox populi vox dei (suara rakyat suara Tuhan). Kedaulatan tertinggi di tangan rakyat bukan “drakula politik”